pti@rokania.ac.id
-
-
0853-6336-7885
pti@rokania.ac.id
0853-6336-7885
08 November 2019
K |
esenjangan jumlah murid antara Sekolah Negeri dengan Sekolah Swasta di Desa Dayo, Kec. Tandun, Kab. Rokan Hulu, begitu kentara. Sekolah negeri yang bernaungan langsung dibawah pusat pemerintahan selalu kebanjiran peminat. Kondisi ini berbanding terbalik dengan sekolah swasta yang daya serap siswanya masih tetap rendah sehingga terjadi kekurangan siswa.
Beberapa tahun lalu, Menteri Pendidikan Dasar, Menengah dan Kebudayaan (Mendikbud) RI Dr Anis Baswedan PhD, menegaskan bahwa tidak ada bedanya antara sekolah swasta dan negeri. “Pemerintah tidak akan membedakan keduanya. Keberadaan sekolah negeri dan swasta sama dalam rangka mencerdaskan bangsa. Jadi pemerintah juga tidak akan memandang sebelah mata terhadap sekolah swasta. Saat ini masyarakat sudah tidak melihat lagi sekolah swasta atau negeri. Mereka akan melihat dan memandang bagaimana kualitas sekolah yang bersangkutan.” Hal ini dinyatakan oleh Anis Baswedan saat kunjungan di Komplek Kampus Hijau Indramayu dalam acara peletakan batu pertama SMK NU Kelautan.
Pernyataan Pak Anis menarik untuk dikaji, dibuktikan lebih lanjut. Apa benar sekolah negeri dan swasta dipandang sama oleh pemerintah? Apa benar kualitas sekolah negeri-swasta itu sama? Dan bagaimana masyarakat memandang kedua macam sekolah tersebut?
Pada kenyataannya pernyataan Pak Anis Baswedan sangat bertolak belakang dengan pandangan masyarakat di Desa Dayo. Masyarakat Desa Dayo lebih memilih sekolah negeri dibandingkan swasta. Perbedaan jumlah siswa pun telihat sangat jauh. Hal ini menyebabkan terjadinya kesenjangan antara pendidikan berbasis negeri dan swasta.
Desa Dayo adalah salah satu desa dengan jumlah jenjang pedidikan terbanyak dan terlengkap di Rokan Hulu. Desa Dayo memiliki 1 sekolah PAUD (negeri), 2 buah sekolah TK (negeri dan swasta), 2 buah sekolah SD (negeri) dan 1 MI (swasta), 2 buah sekolah SMP (negeri) dan 1 MTs (swasta), 2 buah sekolah SMA (negeri), serta sebuah Sekolah Pelatihan berbasis Teknik Otomotif. Desa Dayo juga menyediakan sarana pendidikan berbasis agama sebanyak 2 buah sekolah MDA dan 2 buah pesantren dalam naungan yayasan yang berbeda.
Untuk memilih sekolah sesuai keinginan menjadi hal yang sangat biasa bagi kebanyakan orang tua di Desa Dayo. Mereka biasanya menyekolahkan anak mereka ke sekolah negeri dibanding sekolah swasta. Pandangan pertama yang mereka pikirkan adalah kualitas pendidikan yang diberikan oleh sekolah tersebut. Kurangnya informasi dan sosialisasi dari pemertintah setempat membuat kebanyakan orang tua siswa di Desa Dayo beranggapan pendidikan dan sekolah yang baik hanya bisa didapat dari fasilitas Negara, yaitu berupa seekolah negeri .
Misalnya untuk sekolah SD negeri saja, siswa yang mendaftar jauh melampaui daya tampung. Sehingga sekolah harus membagi siswanya menjadi beberapa kelas. Begitu juga deengan sekolah SMP, sekolah harus empat kelas dari setiap tingkatan rombongan belajarnya dan sama halnya dengan SMA.
Kesalahan terbesar dari sekolah negeri di Desa Dayo adalah sekolah mau menampung sebanyak apapun jumlah siswa yang mendaftar tanpa memikirkan kefektifan belajar mengajar yang baik. Seharusnya sekolah negeri menjalankan peraturan pemerintah yaitu dengan menetapkan jumlah siswa minimal 20 dan maksimal 36 per rombongan belajarnya.
“Sekolah Negeri tidak dipungut SPP karena ada program BOS sedangkan untuk SMA biaya SPP juga terjangkau sehingga masih dapat diusahakan oleh masyarakat yang kurang mampu seperti saya. Sedangkan sekolah swasta, walau tidak semuanya, tapi sebagian besar sekolah memungut SPP mulai dari SD, SMP apalagi SMA.” Ujar Sundusia, salah satu wali murid yang menyekolahkan anaknya disekolah negeri.
“Sekolah negeri itu tidak ada yang namanya uang pangkal dan juga tidak ada SPP karena sudah disubsidi oleh pemerintah. Tentu ini akan meringankan beban kita dan uang yang tadinya untuk bayar SPP di sekolah swasta bisa kita tabung untuk biaya kuliah anak kita.” Imbuhnya.
Alasan lain yang membuat wali murid memilih sekolah negeri adalah karena di Desa Dayo tidak semua warganya beragama islam. Sekolah negeri adalah sekolah yang bisa dinikmati oleh siapa saja. Hal itu membuat banyak murid dari berbagai macam suku dan agama yang ada di sekolah negeri. Hal ini menjadi bagus bagi pergaulan anak. Anak akan lebih mengerti mengenai perbedaan dan juga akan memiliki sikap toleransi yang tinggi.
Hal ini berbanding terbalik bagi sekolah swasta di Desa Dayo yang masih banyak memiliki bangku kosong alias sepi peminat. Walaupun peraturan mekanisme dari pemerintah memberikan angin segar bagi sekolah swasta untuk memperoleh siswa dengan menetapkan batas maksimal Penerimaan Peserta Didik Baru (PPBD) yang bisa diterima oleh sekolah negeri, tetap saja kebijakan tersebut sulit diterapkan. Bahkan pihak sekolah swasta menetapkan kebijakan sekolah gratis jika ingin melanjutkan dari jenjang MI ke MTs, namun tetap saja masih dipandang sebelah mata bagi kebanyakan wali murid Desa dayo.
Sekolah swasta di Desa Dayo bahkan memberi kelonggaran bagi wali murid dengan membuka pendaftaran hingga hari pertama masuk sekolah. Tapi jika tetap tidak terisi penuh daya tampungnya, tetap diperbolehkan mendaftar diawal kegiatan belajar mengajar yang sudah berjalan.
Selama ini kegiatan belajar mengajar di sekolah swasta Desa Dayo tetap berjalan lancar, walau dalam keterbatasan dan bangku-bangku kosong yang tersebar di setiap kelas baik di MI maupun MTs. Bangku tersebut akan dibiarkan kosong, karena sejauh ini tidak ada kebijakan baru yang dikeluarkan oleh Dinas pendidkan setempat.
Salah satu siswi kelas 9, Nazmah, mengaku, ada suka duka dalam proses belajar mengajar selama di MTs. Perasaan senangnya karena dia masih bisa bersekolah di dekat rumahnya, serta mendapatkan pelajaran agama dan pendidikan formal seperti harapan orangtuanya.
"Sedihnya, kami kekurangan teman, Cuma bertiga. Persaingannya pun jadi tidak terasa. Mau bodoh ataupun pitar tetap dapat juara, juara satu, dua dan tiga.” ujarnya.
“Tidak hanya itu, kalau sedang hujan terus salah satu dari kami tidak barangkat atau ada yang sakit, ya terpaksa sekolahnya sendiri.” Lanjutnya,
Beberapa guru sekolah swasta meminta komitmen dari semua pihak, khususnya sekolah negeri untuk mematuhi peraturan yang berlaku. Karena sekolah di swasta butuh pemerataan, tidak semua diambil negeri. Bagaimanapun juga mereka yang sekolah di swasta adalah anak-anak bangsa juga, generasi kita yang akan meneruskan pembangunan dan pendidikan bangsa.
Ketimpangan pendidikan yang mencolok, terutama antara negeri dan swasta, khususnya di Desa Dayo harus diperhatikan kembali. Pemerataan pendidikan di Indonesia perlu dibenahi, diantaranya: Pemerintah perlu membenahi jumlah pemerataan murid di sekolah sesuai dengan kebutuhannya; Pemerintah perlu mengatur ulang kebijakan penyediaan jasa pendidikan oleh sektor swasta agar biaya pendidkan menjadi murah; Kualitas pendidikan sekolah negeri dengan swasta harus diperbaiki agar tidak terjadi ketimpangan; Meningkatkan anggaran riset/penelitian untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas.
Siti Anisa